Babiat Sitelpang & Boru Pareme
Babiat in Bataknese means Tiger and Sitelpang means 3 legs. This story is part of many Turi-Turian (mythology) of Batak. The story began when one of Batak ancestor named Boru Pareme who live next to the forest. Deep in the forest, there was a third legged tiger (Babiat Sitelpang) who was hunting for food. He lost one of his leg while he was hunting deer one time. But never, he lost his power with only 3 legs he had. He was super fast, strong and his roar could shake the ground. One day, he was hunting a deer and like always, successfully he got it. Eating his food, accidently a sharp bone was stuck on his throat. He was very painful that he was moaning constantly and he started to walk to seek a help. He saw a small human house next to the forest. Seeing no one else could help him, he just continued walking to the house.
Babiat dalam bahasa Batak memiliki arti yakni Harimau sedangkan kata Sitelpang berarti kaki tiga. Cerita ini merupakan bagian dari Turi-turian (mitologi) Batak. Cerita bermula ketika Boru Pareme, salah seorang leluhur Batak tinggal bersisian dengan hutan. Jauh di dalam hutan tersebut pula, tinggal seekor harimau berkaki tiga yang sedang berburu mangsa. Harimau itu kehilangan salh satu kakinya ketika ia sedang berburu rusa suatu hari. Walaupun begitu, ia tidak sedikit pun kehilangan kekuatannya walau dengan hanya satu kaki yang ia punyai. Ia tetap dapat bergerak sangat cepat, kuat dan aumannya pun dapat menggetarkan daerah sekitarnya. Suatu hari, ia sedang memburu satu ekor rusa dan seperti biasa, ia sukses mendapatkannya. Ketika memakan makanannya, ia pun tersedak dan sebuah tulang yang tajam tersangkut di tenggorokannya. Ia benar-benar merasa kesakitan sampai-sampai ia mengaum berulang kali dan mulai berjalan mencari pertolongan. Ia pun melihat sebuah rumah manusia yang berada tidak jauh dari hutan. Ia tidak melihat siapa pun yang bisa menolongnya, ia pun berjalan semakin mendekat pada rumah tersebut.
Boru Pareme was humming while she was cleaning her front yard. She heard approaching feet stomps. She looked around to find the sound and found Babiat Sitelpang walking towards her. She was afraid, knowing that would probably her last breath. However, she emboldened herself and told "if you want to eat me, then please...i don't mind".
Boru Pareme sedang bersenandung sambil membersihkan halaman rumahnya. Ia pun mendengar suara langkah kaki yang tegas. Ia menoleh untuk mencari tau asal suara dan ia pun melihat Babiat Sitelpang berjalan ke arahnya. Ia merasa sangat takut, pikirnya ia akan menjemput ajalnya segera. Kemudian dia pun memberanikan diri dan berkata “Jika kau ingin memakanku, maka silahkan...aku ikhlas”.
Babiat Sitelpang stepped closer to her, Boru Pareme closed her eyes and surrender, ready to be eaten. She was waiting but felt strange that the attack not happening. She opened her eyes to find the mouth of Babiat opened widely. She saw a sharp bone was stuck on the tiger's throat. She realized that the Babiat came to asked for help. "Poor you, it must be very painful" said her with symphati and taking the bone gently from the tiger's mouth.
Babiat Sitelpang pun berjalan semakin mendekat kepadanya, Boru Pareme pun menutup matanya dan menyerah untuk dimakan. Ia pun menunggu dan heran ketika merasa serangan tidak kunjung datang. Ia pun membuka matanya dan melihat Babiat Sitelpang sedang membuka mulutnya lebar-lebar. Ia melihat sebuah tulang yang tajam tertancap di tenggorokan sang harimau. Ia pun akhirnya sadar bahwa harimau tersebut datang untuk meminta pertolongan. “Kasihan engkau, pasti sangat sakit” katanya dengan simpati lalu mengambil tulang tersebut dengan lembut dari mulut si harimau.
“There you go, hope you feel better” said Boru Pareme. Babiat felt very grateful of Pareme’s help. He leaned his body to Boru Pareme and she rubber the tiger’s head. From that on, both of them became family and protected each other. Everytime Babiat hunted for food, he would bring it to Boru Pareme. Even after she gave birth to her children, the tiger remained to her side and protected her children too. Especially her first son, named as Raja Lontung. Babiat Sitelpang made a deep connection to him and even taught him self-defense. Raja Lontung himself then had 7 sons that becaming the name of Batak clans of Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang and Siregar as well as 2 daughter who married with the calns of Simamora and Sihombing.
“Nah sudah aku ambil tulangnya, semoga kamu merasa lebih baik” kata Boru Pareme. Babiat Sitelpang pun merasa sangat berterima kasih pada bantuan yang diberikan olehnya. Ia pun mendekat dan menggosokkan dirinya pada Boru Pareme lalu kepalanya pun diusap dengan lembut. Sejak hari itu, mereka pun menjadi keluarga dan melindungi satu sama lain. Setiap kali sang harimau berburu maka ia juga akan membawanya untuk Boru Pareme. Bahkan setelah ia melahirkan pun, ia masih setia berada di dekat Boru Pareme dan lantas juga melindungi anak-anaknya. Terutama anaknya yang pertama yang disebut dengan Raja Lontung. Babiat Sitelpang pun menjalin hubungan yang sangat eras dan bahkan mengajari anak tersebut bela diri. Raja Lontung pun kemudian juga memiliki 7 anak yang kemudian menjadi marga batak yakni Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar serta dua anak perempuan yang menikah dengan marga Simamora dan Sihombing.
Since then, Batak Silat (material arts) has moves that idetically with tiger. This story also shows how Batak people also considered Babiat Sitelpang as their ancestor too that called as "ompungi" means grandpa. Every time Batak people step into harangan (forest) that is a tiger habitat, they will say "Sattabi do oppung" which means "excuse me, grandpa". This is how close Batak people with tiger that they mostly won't call tiger as tiger but ompung. They are cosidered not only as animal but part of family, as important as ancestor. With this value and deep connection, poaching tigers are never being part of Batak culture. Semenjak itu pula, silat batak dipercaya memiliki gerakan yang menyerupai gerakan harimau. Cerita ini juga menunjukkan bagaimana orang batak juga mengganggp Babiat Sitelpang sebagai leluhur mereka yang kemudian juga dipanggil sebagai “ompungi” yang berarti kakek. Setiap dari orang batak yang melangkah memasuki harangan (hutan) yang merupakan habitat dari harimau maka mereka akan mengatakan “sattabi do oppung” yang berarti “Permisi ya, kakek”. Hal ini menunjukkan bagaimana dekatnya orang batak dengan harimau yang bahkan memanggilnya dengan sebutan kakek. Mereka tidak lagi sekadar hanya satwa tapi juga sama pentingnya dengan leluhur. Dengan nilai dan hubungan erat ini, perburuan terhadap harimau bukanlah bagian dari kebudayaan etnis Batak.
However, colonialization changed simply everything. Majority of Batak current generation are no longer knowing related important mithology anymore as colonial has been taken so much including connection toward the land and our ancestor. The total of remaining of Sumatran Tiger is less than 500 on the wild in Sumatra. It is very significant for us as indigenous to reclaim our role and be part of the guardian of our ompung from extinction.
Namun kemudian, kolonialisasi mengubah banyak hal. Kebanyakan dari generasi muda batak tidak lagi mengetahui mithologi penting ini karena kolonialsasi telah mengambil banyak hal termasuk hubungan suku asli terhadap tanah dan leluhur. Saat ini, total dari keseluruhan Harimau Sumatera hanyalah tersisa 500 saja. Hal ini merupakan saat yang penting sebagai etnis asli peribumi untuk kita kembali lagi mengklaim peranan kita kembali dan bergabung menjadi pelindung dari ompung kita agar jangan sampai punah.
As Boru Pareme is a woman, a womb that even gained deep connection with this majestic animal of Babiat Sitelpang and the forest, she shared the conservation values to her children and down to us as present generation of Batak indigenous woman. Therefore, support Nuraga Bhumi Institute to not only provide space for any indigenous to reclaim our role as the protector's of our land but also collect, discuss and share more indigenous values to reclaim our once forgotten role, as land protectors. Because we need to continue the legacy of our ancestor as first conservationist, to live in harmony with nature.
Sebagaimana Boru Pareme adalah seorang perempuan, dengan rahim yang menjalin kedekatan luar biasa dengan satwa luar biasa seperti Babiat Sitelpang dan juga hutan, ia telah mengajarkan nilai-nilai konservas kepada keturunannya dan sampai ke kita sebagai generasi muda perempuan Batak. Oleh karena itu, dukung Nuraga Bhumi Institute untuk tidak hanya menyediakam tempat untuk kita sebagai etnis pribumi asli untuk kembali mengklaim peranan kita yang lama terlupakan yakni sebagai penjaga tanah ibu pertiwi kita. Karena kita harus melanjutkan warisan nenek moyang kita yang merupakan penjaga lingkungan pertama, yakni yang bisa hidup harmonis berdampingan dengan alam.